Menggugat Sejarah Kota Kendari
Oleh : Basrin Melamba, M. A.
Penamaan Kendari Sebuah Pelurusan Sejarah
Basrin Melamba, M. A.[1]
(email/fb: melambabasrin@yahoo. com)
HP. 081229452311
Selama  ini historiografi Kendari menjadi perdebatan. Salah satunya terutama  masalah penamaan Kendari, dan parahnya lagi seakan-akan penamaan Kendari  terkesan mitologis dan melegenda. Hal ini disebabkan konstruksi yang  dibangun tidak menggunakan sumber-sumber primer. Dalam tulisan Sejarah  Kota Kendari yang dikarang oleh Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd, (beliau   S1 pend.Sejarah,  S2 dan S3 jurusan pendidikan luar sekolah),  disebutkan bahwa nama Kandari telah ditemukan dalam tahun 1926, kemudian  dalam kata pengantar Wali Kota dan Ketua DPR pada saat itu memperkuat  pendapat mereka, dan yang memberi nama adalah orang-orang Belanda.  (Lihat Sejarah Kota Kendari, Bandung: Humaniora, tahun 2006 hlm. 30).  Maupun karya-karya seperti Prof. Dr. Abdurrauf Tarimana, dan Prof. Dr.  Rustam Tamburaka). Menulis sejarah bukan masalah guru besar tetapi harus  dibekali dengan metodologi sejarah, filsafat sejarah, dan terutama  kemampuan membaca sumber-sumber sejarah berkaitan dengan language sources terutama  Bahasa Belanda.  Evidensi ini merupakan kesalahan fatal dan  menyesatkan. Beberapa tulisan tersebut di atas sifatnya melegenda, dan  anakronisme tidak berdasarkan urut-urutan waktu.
Setiap  generasi dapat menuliskan sejarahnya, karena sejarah adalah dialog  tanpa akhir. Sejarah bisa ditulis ulang jika seorang sejarawan menemukan  fakta baru berupa sumber-sumber baru atau interpretasi baru. Mereka  harus siap dikritik karena itulah ciri orang ilmiah bersifat terbuka,  dan ilmu bersifat relativitas atau memiliki keterbatasan.
Berikut  sejarah penamaan Kandari atau Kendari diberikan oleh orang-orang  Portugis dan sudah ada sejak abad ke-16. Sumber yang menjelaskan hal  tersebut berasal dari laporan Controleur Kendari bernama  L. Fontjine dalam tulisannya berjudul “Adatstaatsinstellingen van Indonesische Rechtgemeenschappen”  bahwa penyebutan istilah Raja, Hadat, dan Laiwui sebenarnya bukan  berasal dari daerah ini dan pada masa itu tidak terdapat istilah-istilah  ini. Hal ini menjadi jelas bahwa istilah ini diperkenalkan dan  dipergunakan oleh wakil pemerintah Hindia Belanda. Nama Laiwui menjadi  muncul disini oleh karena menurut sebuah cerita berasal dari  ketidaktahuan orang-orang Portugis dan penduduk pribumi. Pada saat itu  orang Portugis menanyakan nama daratan ini kepada penduduk dan penduduk  mengira bahwa orang Portugis menanyakan dimanakah terdapat air  minum?-maka dijawab dengan “Laiwui”  yang berarti “banyak  terdapat air”. Sejak itulah maka daratan ini oleh orang-orang asing  disebut dengan nama Laiwui. Lihat juga tulisan J. Paulus “Encyclopaedie van Nederlandsch Indie,  Leiden: Martinus Nijhoff, 1917, menjelaskan tentang nama Laiwoi dan  Kendari. Fakta ini diperkuat bukti dalam tulisan Jasper dalam laporan  perjalanannya dari teluk Kendari ke teluk Lasolo tahun 1926.
Pada  permulaan abad ke-15 pada saat bangsa Portugis berlayar kearah timur  mencari kepulauan  Maluku yang terkenal dengan rempah-rempahnya, mereka  singgah di teluk Kendari tersebut. Pada saat perlawatannya ke daerah ini  mereka bertemu orang yang membawa rakit yang terbuat dari bambu dengan  menggunakan dayung panjang. Orang Portugis tersebut segera mendekati  simpembawa rakit, kemudian menanyakan nama kampung yang mereka singgahi.  Orang yang ditanya tersebut mengira bahwa portugis itu menanyakan apa  yang sementara dikerjakannya, sehingga langsung dijawab Kandai yang artinya dayung atau  (mekandai)  mendayung. Jawaban orang tersebut dicatat oleh orang Portugis sebagai  pertanda bahwa kampung yang mereka masuki itu bernama Kandari. Akhirnya  nama Kandai menjadi Kendari akibat penulisan. Sebagai contoh nama  Mekongga dalam naskah Lagaligo disebut Mengkoka sedangkan dalam naskah  lontarak Luwu disebutkan Mingkoka, dan dalam beberapa tulisan maupun  laporan Belanda, Jerman menuliskan dengan nama Mingkoka, Bangkoka,  Bingkoka. (Lihat Basrin Melamba, Kota pelabuhan Kolaka di Kawasan Teluk Bone,1906-1942,  2010). Bandingkan dengan penulisan nama Magelang, Surabaya, Pontianak,  Pekalongan, Buton, dan beberapa nama kota lama di nusantara.
Dalam  peta VOC daerah ini sudah dikenal sebagai daerah Laiwoi. Pasca  penandatangan Perjanjian Bongaya, pada abad ke-17 dan 18, daerah ini  sudah disebutkan Laiwui dengan kedudukanya di Kendari sebagai Vassal of Luwu atau dicaplok oleh Luwu sebagai bagian dari kekuasaannya. (Lihat Jan M. Pluvier, Historical Atlas of South-East Asia,  E. J. Brill, Leiden-New York-Koln, 1995), tetapi dalam kenyataannya  Luwu tidak secara utuh menguasai daerah ini, meskipun dalam sejarah  Konawe diakui bahwa Luwu pernah melaksanakan ekspedisi ke daerah ini  pada masa pemerintahan Mokole Lakidende bergelar Sangia Ngginoburu abad  ke-17.(lihat Baden, 1925)Sumber : http//melambabasrin.blogspot.com
Tentang penulis Beliau adalah ..............
Alumni Departement History, Culture Science Faculty Gadjah Mada University. Dan pengurus DPP Lembaga Adat Tolaki (LAT).
Demikian Kutipan ini, Semoga Blog ini dapat bermanfaat bagi anda. Salam Perjuangan ..........!!!
Wasallam ....................
Salam Berbagi >BH<


